Tanggal: Saturday, 26 January 2002 11:52
Topik: No 43 Th 54 Minggu IV Januari 2002
Tamu dalam negeri, kebanyakan berasal dari pastoral maupun susteran. Calon pastor dan suster itu menyempatkan menginap di Nurul Ummahat. Kesan yang mereka tulis di buku tamu, rata-rata mengaku salut, ada pesantren yang terbuka dan bahkan proaktif menjalin kerjasama dengan kelompok nonmuslim.
Menurut KH Abdul Muhaimin, kedekatannya dengan penganut agama lain, merupakan sebagian dari visi Nurul Ummahat yang ingin mengembangkan wawasan kebangsaan. “Mengembangkan kerukunan antar umat merupakan salah satu pilar untuk memperkokoh semangat kebangsaan. Dalam wawasan kebangsaan, terdapat pula semangat demokrasi dan menghormati kelompok minoritas,” katanya.
Menurut Kiai Muhaimin, konsep pesantrennya banyak dipengaruhi pemikiran KH Muslimin Imampuro, pengasuh PP Al Mutaqin Pancasila Sakti, Klaten. Dari ulama sepuh yang lebih dikenal dengan naman Mbah Lim ini, ia banyak berguru tentang konsep wawasan kebangsaan serta implementasinya dalam dunia pesantren.
Sehingga, meski belum pernah nyantri di PP Al Mutaqien, Kiai Abdul Muhaimin mengakui, Mbah Lim merupakan salahsatu gurunya. “Terus terang, pemikiran beliau cukup menarik. Saya mencoba mencerna dan kemudian menerapkan di pesantren ini,” jelasnya.
Di komunitas kiai, kebijakan yang ditempuh Nurul Ummahat mengundang pro kontra. Bahkan, tidak sedikit ulama menentang keras sikap kooperatif terhadap agama lain itu. Paradigma yang mereka gunakan, antara murtad dan tidak murtad. Padahal, menurut Kiai Muhaimin, ada sisi lain di luar paradigma itu yang juga harus diperhatikan. Yaitu semangat kebersamaan dan kerukunan ummat.
***
PP NURUL Ummahat didirikan 1988. Latar belakang pendirian pesantren ini lebih didorong cita-cita orangtua Kiai Muhaimin, KH Marzuki (alm) yang menghendaki agar putera-puteranya mengembangkan syiar Islam melalui pesantren. “Kami memang keluarga santri. Bapak dan saudara-saudara saya semua menimba ilmu di pesantren,” aku alumnus PP Krapyak ini.
Pesantren ini mengkhususkan diri menampung santri puteri. Semua mahasiswi, baik strata satu maupun pasca sarjana. Sesuai semangat kebangsaan yang didengungkan, santriwati berasal dari pelbagai suku di tanah air. Dan sekarang, terdapat 40 santriwati. Semua tinggal di pesantren yang terletak di Prenggan Kotagede Yogya.
Mengasuh santri puteri yang semua mahasiswi, menurut Kiai Muhaimin perlu pendekatan khusus. Pola pikir serta pergaulan santri lumayan luas. Tidak bisa dikekang dengan pelbagai peraturan yang membelenggu. Hanya, untuk pergaulan dengan lawan jenis, pengasuh pesantren sangat selektif.
“Selepas jam lima sore, santri tidak boleh menerima tamu laki-laki. Bahkan, untuk telepon pun tidak diizinkan. Meski di sini dikembangkan semangat demokrasi, namun untuk etika pergaulan pesantren, tetap kami pegang teguh!” jelasnya.
Di pesantren sering diselenggarakan diskusi-diskusi ilmiah. Membahas pelbagai hal, termasuk dialog dengan tokoh non muslim. Selain ingin menambah wawasan santri, dari dialog tersebut diharapkan ketemu satu kesepahaman tentang bagaimana menciptakan kerukunan antar umat beragama.
Diakui Kiai Muhaimin, sikap proaktif merangkul tokoh non muslim, selain didasari kenyataan adanya pluralisme di Indonesia, juga belajar dari kisah hijrah Rasul yang dalam perjalanan pernah ditolong orang non muslim. “Logikanya, kalau Nabi saja bisa menghargai penganut agama lain, kenapa kita harus bermusuhan,” ujarnya.
Di Nurul Ummahat pula, deklarasi Forum Persaudaraan Ummat Beriman (FPUB) yang berangggotakan pendeta, pastor, kiai, biksu serta tokoh dari pelbagai aliran kepercayaan, bersatu. Dari gencarnya gerakan persaudaraan antar agama pula, Kiai Muhaimin dianugerahi Tasrif Award 2000 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penghargaan serupa pernah diberikan kepada Benyamin Mangkudilaga SH.
Dalam mengelola pesantren, Kiai Muhaimin didampingi sang isteri, Nyi Umi As’adah, hafidzah dari PP Sunan Pandanaran. “Untuk pengajar, santri senior banyak membantu. Mereka nyambi belajar menjadi ustadzah,” pungkasnya.
(Daryanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar